Cerita Guru PJOK - Ketika Kelompok Itu Terdiam

Judul: Ketika Kelompok Itu Terdiam

NOTE:
“Cerita ini saya tulis bukan untuk dilihat, tapi untuk dikenang.
Dan jika suatu hari kalian menemukannya…
biarlah ia jadi bukti bahwa guru kalian pernah benar-benar mencintai kalian.”

Hari itu aku sedang lelah. Pekerjaan administrasi sebagai bendahara sekolah sedang menumpuk, tapi tanggung jawab sebagai guru PJOK tetap harus aku jalankan. Kelas enam menunggu di lapangan, dan materi hari itu adalah senam kreasi. Biasanya aku bersemangat saat masuk kelas ini, apalagi karena ada satu kelompok putri yang sangat dekat denganku. Mereka ceria, aktif, dan selalu menyenangkan untuk dibimbing.

Tapi siang itu, mereka tampak berbeda. Wajah-wajah yang biasanya antusias kini tampak lesu. Saat kelompok lain sudah mulai berlatih, mereka malah duduk-duduk, saling pandang, ragu-ragu. Mungkin karena lelah, atau karena pikiranku terbagi, aku kehilangan kesabaran.

Aku berkata, dengan nada yang lebih keras dari biasanya:

“Kalau memang sudah nggak niat belajar, mending kalian ke kelas.”

Kalimat itu meluncur begitu saja. Dan seketika suasana menjadi hening. Kelompok itu tidak membalas, tidak membantah. Hanya diam. Aku tahu, saat itu juga aku telah menyakiti mereka — bukan dengan isi kalimatku, tapi dengan caraku menyampaikannya.

Kelompok ini bukan sembarang kelompok. Mereka sering jadi teman diskusi, teman canda, dan bahkan teman evaluasi. Kedekatan kami membuatku berharap lebih dari mereka. Tapi hari itu aku terlalu keras. Bukan karena benci, tapi karena kecewa. Dan kecewa yang muncul dari kasih sayang… kadang menyakitkan juga.

Pulang sekolah, aku tak bisa berhenti memikirkan kejadian itu. Di jalan, di rumah, bahkan saat membuka handphone — bayangan wajah mereka masih terlintas. Rasanya seperti menggores kertas yang sudah penuh warna, hanya karena satu garis emosi.

Malam harinya, aku membuat WhatsApp story. Video mereka saat latihan senam — lengkap dengan lagu Virgoun "Saat Kau Telah Mengerti" sebagai latar. Tak ada kata, hanya harap: semoga mereka tahu bahwa aku tak bermaksud menyakiti.

Dan keajaiban kecil terjadi. Beberapa waktu kemudian, mereka mengirimkan video. Mereka masih berkumpul. Masih berlatih. Dan bersama-sama berkata, "Maaf ya, Pak."

Air mataku hampir jatuh. Bukan karena sedih. Tapi karena aku sadar — anak-anak ini mengerti. Mereka menerima teguranku, tapi tidak membenciku. Mereka tahu aku sayang, meski sempat kecewa. Dan mereka tetap memilih untuk kembali, bukan menjauh.

Sekarang mereka sudah lulus. Tak ada lagi latihan sore, tak ada lagi evaluasi senam. Tapi kenangan tentang mereka… tetap tinggal. Bukan karena mereka murid terbaik. Tapi karena mereka mengajariku: bahwa hubungan guru dan murid tidak selalu mulus, tapi bisa tetap utuh — jika ada ketulusan dan saling mengerti.

Aku tidak akan pernah lupa kelompok itu. Kelompok yang membuatku sadar, bahwa menjadi guru bukan soal sempurna, tapi soal berani meminta maaf, dan memberi ruang untuk tumbuh bersama.

Komentar

Postingan Populer